AMPHURI.ORG, JAKARTA–Sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) tentu harus tunduk dan patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan pemerintah, salah satunya adalah dalam bidang penyelenggaraan haji dan umrah yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Demikian disampaikan Sekretaris Jenderal Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI), M Farid Aljawi dalam wawancara dengan Radio Dakwah Solo, melalui sambungan telepon pada Kamis (5/10/2023) terkait fenomena umrah backpacker yang akhirnya dipolisikan Kementerian Agama.
Farid menegaskan, undang-undang ini sudah jelas mengatur tentang penyelenggaraan ibadah haji dan umrah yang berlaku di Indonesia. Masyarakat mustinya bisa memahami aturan ini.
“Namun dalam penerapannya, kadang malah berbalik arah dan jauh berbeda seiring dengan perkembangan teknologi yang memang perkembangan teknologi sendiri tidak bisa dicegah,” tegasnya.
Kata Farid, dengan adanya perkembangan teknologi, siapapun boleh melakukan apapun selama memang itu memenuhi kriteria. Misalnya booking tiket pesawat, kemudian bayar, maka orang tersebut tidak perlu membeli tiket di biro travel. Begitu pula dengan orang yang akan ke Saudi, lewat platform yang dikembangkan Saudi, semua fasilitas akomodasi sudah bisa dilakukan tanpa harus melalui biro travel.
“Pada akhirnya apa yang dilakukan mereka ini tak jauh beda dengan mereka yang memiliki izin dari pemerintah. Artinya yang memiliki izin usaha bersaing dengan mereka yang tidak memiliki izin usaha ini tidak adil. Jika memang izin itu tidak diperlukan, maka harusnya tidak usah ada izin,” katanya.
Memang, lanjut Farid, Pemerintah berhak mengatur dan telah mengeluarkan aturan penyelenggaraan haji dan umrah yaitu UU Nomor 8 Tahun 2019 beserta aturan turunannya. Dengan ketentuan ini, masyarakat diperbolehkan untuk melakukan kegiatan pelaksanaan haji dan umrah. “Bahkan saat ini, asalkan mengikuti undang-undang yang berlaku dan memenuhi kriteria, sekarang perizinan sangat dimudahkan,” ujar Farid.
Lebih lanjut Farid menjelaskan apa yang dilakukan pelaku usaha umrah backpacker ini terjadi pelanggaran. Dan memang menurut aturan yang ada yaitu UU Nomor 8 Tahun 2019, jelas-jelas usaha yang dilakukan mereka itu melanggar. Apalagi, ketika tengah berada di luar negeri.
“Yang dikhawatirkan adalah terjadinya pelanggaran-pelanggaran, terutama di luar negeri yang berakibat dirugikannya masyarakat, karena pelaksanaan haji dan umrah adanya di luar negeri baik di Arab Saudi maupun di negara transit,” jelasnya.
“Artinya, kalau dilihat dari kesesuaian umrah backpacker dengan peraturan perundang-undangan ini tidak sesuai,” tegas Farid.
Menurut Farid, dalam penyelenggaraan ibadah haji dan umrah, ada banyak instansi pemerintah yang terlibat. Pertama Kementerian Agama, sebagai regulator dan kementerian yang mengeluarkan izin usaha. Kemudian, Kementerian Kesehatan yang terkait dengan vaksin-vaksin yang menjadi syarat bagi calon jamaah yang akan ke luar negeri untuk haji dan umrah.
“Ada lagi Kementerian Luar Negeri, karena ini menyangkut perlindungan Warga Negara saat di luar negeri sana,” katanya.
Karena itu, kata Farid, ada baiknya pemerintah duduk bareng untuk membuat regulasi yang berpihak kepada masyarakat. Sehingga masyarakat tidak saling dibenturkan antara yang melalui biro travel berizin maupun mereka yang tidak berizin. “Karena Saudi sendiri sudah membebaskan dan membuka jalan seluas-luasnya kepada siapapun yang akan masuk ke Arab Saudi,” ujar Farid.
Lantas apa yang dilakukan Kementerian Agama yang melaporkan pelaku usaha umrah backpacker ke Polda Metro Jaya, kata Farid, tentu semua itu tidak lepas dari laporan dari masyarakat. “Ya mungkin masyarakat dan pelaku usaha ini menuntut keadilan, kalau ini orang bisa berangkat sedangkan biro travel harus ada izin dan berbagai persyaratan, tentu ini tidak adil,” tandasnya.
Terkait permasalahan ini, AMPHURI pun telah mendorong Kementerian Agama agar segera membentuk Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang akan menyelesaikan berbagai permasalahan yang menjadi tanggungjawab Kementerian itu.
Kemudian, AMPHURI juga mengusulkan kepada pemerintah agar merevisi UU Nomor 8 Tahun 2019, karena ada banyak hal yang harus disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi sehingga lebih relevan. “Semua kementerian yang terkait penyelenggaraan ibadah haji dan umrah harus duduk bareng,” pintanya.
Sebenarnya, kata Farid, jika anggapan umrah backpacker ini tidak rumit dan dari sisi biaya lebih murah dibanding melalui biro travel, tidak semuanya benar. “Mungkin lebih simple iya, karena mereka tidak melalui Siskopatuh. Hanya saja adanya Siskopatuh itu sebagai fungsi kontrol pemerintah dalam rangka perlindungan masyarakat yang akan ke luar negeri untuk ibadah umrah,” ujarnya.
Artinya, lebih banyak mudaratnya, ketika dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki kapasitas, kemampuan bahasa, pengalaman serta wawasan selama aktifitas perjalanan ke luar negeri maupun ketika berada di Tanah Suci. Belum lagi ketika mengalami masalah di negara tujuan maupun dalam perjalanan. Karena itu, pemerintah agar segera membuat kebijakan yang sinkron dengan keadaan sekarang.
Ketika terjadi masalah di negeri orang, maka yang akan direpotkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Luar Negeri yang menjadi perwakilan RI di negara tersebut. “Apakah mereka yang melakukan umrah backpacker itu akan bertanggungjawab? Apalagi jika ada di antara pesertanya melakukan pelanggaran,” kata Farid.
Paling tidak, kata Farid, ketika aktifitas umrah itu dilakukan masyarakat melalui biro travel, jamaah akan aman dan terlindungi. Kemudian secara teknis, biro travel pun dilengkapi pembimbing ibadah yang tersertifikasi, sehingga benar-benar membimbing jamaah sesuai aturan yang berlaku.
“Ada baiknya pemerintah terus melakukan sosialisasi terkait kebijakan tentang haji dan umrah, sehingga tidak lagi terjadi dalam rangka meminimalisir dampak yang ditimbulkan dari aktifitas backpackeran ini,”
Sumber : Amphuri.org